Dr. H. Suhajar Diantoro, Pimpinan Ex Officio BAZNAS RI dari Kemendagri
Potensi Zakat Rp327 Triliun, Mengapa yang Terkumpul Hanya 10 Persen?
02/09/2025 | Humas BAZNAS MinahasaJakarta – Ironi zakat di Indonesia kian terang benderang. Negara dengan mayoritas penduduk muslim ini menyimpan potensi zakat fantastis, mencapai Rp327,6 triliun per tahun. Namun, fakta di lapangan berbicara lain: realisasi pengumpulan hanya menyentuh sekitar 10 persen. Sementara itu, jumlah orang miskin masih bertahan di angka 26,36 juta jiwa (9,57 persen penduduk, data BPS 2023).
Dalam forum Pengajian BAZNAS 1 September 2025, Dr. H. Suhajar Diantoro, Pimpinan Ex Officio BAZNAS RI dari Kemendagri, menekankan bahwa gap besar ini bukan sekadar soal hitungan angka. “Zakat adalah instrumen redistribusi kekayaan. Kalau dikelola dengan benar, ia bisa menjadi motor penggerak keadilan sosial,” ujarnya.
Masalah klasik pengumpulan zakat selama ini adalah jarak antara potensi dan realisasi. Padahal, pemerintah daerah memiliki peran vital sebagai ujung tombak. Dengan kedekatan pada masyarakat, Pemda bisa mendata muzakki (pembayar zakat) dan mustahik (penerima) secara lebih akurat.
Riset terbaru (Dian Masyita, 2023) bahkan menunjukkan, desentralisasi pengelolaan zakat meningkatkan efektivitas penyaluran dan pemberdayaan mustahik. Tapi kenyataannya, dukungan APBD untuk BAZNAS daerah masih minim. Rata-rata provinsi hanya mengalokasikan sekitar Rp0,43 miliar, sedangkan kabupaten/kota rata-rata Rp0,49 miliar. Angka ini bahkan kalah dengan biaya hiburan pejabat.
Zakat di era digital mestinya tak lagi terjebak dalam cara-cara lama. Studi Qurroh Ayuniyyah (2023) menunjukkan, digitalisasi zakat bisa mendongkrak efisiensi pengumpulan hingga 45 persen. Sayangnya, implementasi sistem terintegrasi antara BAZNAS pusat, daerah, dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) masih berjalan lambat.
Padahal, negara tetangga sudah melesat jauh. Malaysia, misalnya, telah mengintegrasikan zakat dengan sistem perpajakan, memberi insentif fiskal, dan memastikan transparansi lewat audit anti-korupsi. Bangladesh memanfaatkan zakat untuk modal usaha mikro. Pakistan menjadikannya bagian dari kebijakan jaring pengaman sosial.
Jika negara lain bisa, mengapa Indonesia masih tertatih? Mengapa zakat—yang semestinya menjadi instrumen pengentas kemiskinan paling Islami dan berkeadilan—hanya dipandang sebatas ritual tahunan?
Di tengah angka kemiskinan yang masih menyentuh puluhan juta jiwa, zakat bisa menjadi jawaban nyata. Namun tanpa political will yang kuat dari pemerintah daerah, keberanian regulasi, dan kepercayaan publik, zakat hanya akan jadi potensi di atas kertas.
