Pimpinan Baznas Bidang Transformasi Digital Nasional, M. Nadratuzzaman Hosen
Jalan Berliku Membangun Zakat Berdaya: Ketika Pola Pikir dan Karakter Menjadi Pijakan Utama
04/09/2025 | Humas BAZNAS MinahasaJAKARTA — Di atas kertas, potensi zakat di Indonesia adalah raksasa tidur. Nilainya bisa mencapai ratusan triliun rupiah, jauh melampaui capaian saat ini. Pertanyaannya, mengapa raksasa ini belum juga bangun? Jawaban dari BAZNAS, melalui Pimpinan Bidang Transformasi Digital, M. Nadratuzzaman Hosen, tak melulu soal teknologi atau regulasi. Kunci utamanya justru ada pada hal yang paling mendasar: cara berpikir dan karakter para pemimpinnya.
Zakat adalah ibadah yang dibangun di atas landasan kokoh. Prof. Nadra secara tajam mengingatkan, setiap manajer zakat harus memahami beda antara Postulat—prinsip dasar yang diterima tanpa perlu bukti, seperti kewajiban zakat itu sendiri—dengan Aksioma—kebenaran universal yang tidak terbantahkan, seperti penetapan 2,5% pada zakat maal. Pemahaman ini memastikan bahwa pengelolaan dana umat tetap berpegang teguh pada koridor syariah yang tak bisa diganggu gugat.
Namun, mengumpulkan dan menyalurkan zakat di era digital butuh lebih dari sekadar kepatuhan. Ia butuh pikiran yang tangkas. Di sinilah berpikir kritis dan analitis menjadi senjata utama. Mengapa laju penghimpunan zakat belum optimal? Mengapa distribusi sering kali terhambat? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan cara kerja konvensional. Dibutuhkan kemampuan untuk membedah masalah, mencari data, dan berani mempertanyakan kebiasaan yang sudah mendarah daging, sebuah mentalitas yang seringkali "tidak populer" di tengah budaya yang menghindari perbedaan.
Lebih dari itu, keberlanjutan zakat di masa depan sangat bergantung pada inovasi. Menjangkau milenial sebagai muzakki dan menyalurkan zakat secara produktif—misalnya, melalui program pemberdayaan ekonomi—memerlukan pikiran yang kreatif dan divergen. Pola pikir ini mengajak untuk keluar dari rutinitas dan berani mencari solusi yang belum pernah dicoba sebelumnya.
Jika pola pikir adalah kompas, maka karakter adalah mesin penggeraknya. Prof. Nadra tegas menyoroti empat karakter krusial yang harus dimiliki seorang amil (pengelola zakat). Yang pertama, tanggung jawab. Mengelola zakat adalah amanah suci, bukan sekadar pekerjaan. Seperti kata Prof. Nadra, "Kalau Anda bekerja jangan pernah berpikir ada uangnya atau tidak," karena dedikasi pada amanah ini jauh melampaui imbalan dunia.
Kedua, kerendahan hati (humility) menjadi benteng terpenting. Pemimpin yang rendah hati tidak akan merasa "paling tahu" atau defensif saat dikritik. Sikap ini membuka ruang untuk menerima masukan, belajar dari kesalahan, dan menjaga kepercayaan publik. Di balik setiap laporan keuangan yang transparan dan setiap program yang berhasil, ada integritas seorang amil yang meletakkan ego di bawah kepentingan umat.
Pada akhirnya, masa depan zakat di Indonesia tidak akan ditentukan oleh seberapa besar potensi dana yang ada, melainkan oleh kualitas pikiran dan integritas karakter mereka yang mengelolanya. Membangun zakat yang berdaya, pada dasarnya, adalah membangun pemimpin yang tidak hanya bekerja, tetapi juga berpikir mendalam, berkarakter kuat, dan siap melayani dengan rendah hati. Inilah transformasi sejati yang diimpikan BAZNAS.
